Fahmi Rizwansyah says:
Oleh Mulyo Sunyoto
Oleh Mulyo Sunyoto
Ketika masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, eseis Goenawan Mohamad sudah membaca novel George Orwell yang berjudul "1984" dalam versi aslinya.
"Saya baca terutama di bagian-bagian yang memuat deskripsi erotik," katanya. Pengalaman Goenawan tentu tidaklah istimewa. Karena pembaca pada umumnya secara naluriah tak akan melewatkan bagian penggambaran perilaku erotik ketika menikmati karya fiksi.
Itu sebabnya para novelis menjadikan deskripsi perilaku erotik sebagai bagian tak terpisahkan dari totalitas cerita. Ada pengarang yang menjaga agar deskripsi mengenai perilaku erotik itu jangan sampai terjerumus ke dalam klasifikasi pornografis. Ada pengarang yang tak mempedulikan batas-batas klasifikasi itu.
Jika tujuan penggambaran atau deskripsi mengenai perilaku erotis itu adalah untuk merangsang naluri seksual pembaca, seperti dijelaskan Webster`s New Explorer Dictionary, penggambaran itu bisa dikategorikan sebagai pornografi.
Dalam novel terbaru Ayu Utami "Bilangan Fu", misalnya, deskripsi perilaku erotik jelas tidak dimaksudkan untuk merangsang seksual pembaca karena sang pengarang tak membuat deskripsi jasmaniah-harfiah. Sebaliknya, Ayu sengaja mengaburkan adegan erotik lewat bahasa metaforik, yang sebetulnya bisa saja dianggap lebih merangsang fantasi seksual pembaca.
Di halaman 38 novel setebal 531 pagina itu, Ayu membahasakan adegan seks dengan pilihan kata berikut:
"Di dalam kamar kubiarkan Marja memicu kudanya untuk berlari lebih cepat lagi. Kubiarkan ia menaji si kuda dengan sanggurdinya yang tak berbelas kasih. Ia mengucapkan segala sumpah serapah yang terdengar oleh seluruh dunia dan kata-kata kotor pada kuda yang mulai kehilangan kontrol."
Diksi metaforik dalam pasase itu seperti "kuda", "menaji", "sanggurdi," digunakan pengarangnya untuk menghindari lukisan-lukisan verbal-vulgar yang biasa digunakan kalangan pengarang novel picisan.
Tak vulgar
Sementara itu dalam "God of Small Things", bahasa harfiah dipakai oleh Arundhaty Roy untuk melukisan percintaan erotik antara Ammukuty, seorang janda, dengan jejaka yang digandrunginya, Velutha. Meskipun bisa dicap pornografis, deskripsi tentang percintaan erotis yang digubah Arundhaty jauh dari kesan porno yang vulgar.
Kenapa? Sebab Arundhati meletakkan adegan erotik itu dalam bingkai situasi yang tegang. Sang lelaki dalam ancaman disiksa warga setempat karena nekat bercinta dengan wanita dari kasta tinggi sementara dia sendiri dari golongan sudra.
Bahasa harfiah yang melukisan tubuh manusia yang sedang bercinta antara lain diwujudkan dalam kalimat berikut: "Ammu menjulurkan lidahnya dan mengecapkannya di ceruk kerongkongan lelaki itu. Di cuping telinganya. Ia menarik kepala lelaki itu ke arahnya, dan mencium mulutnya. Ciuman berkabut...."
Namun, untuk adegan hubungan intim, Arundhati tidak seharfiah saat ia melukiskan adegan ciuman, yang menurut banyak kalangan belum "porno banget", meskipun Lembaga Sensor Film (LSF) suka menggunting pita seluloid yang berisi adegan ciuman.
Inilah deskripsi Arundhaty untuk adegan "porno" yang disampaikan dalam diksi dan frasa metaforik:
"Sepasang mata yang berkabut menatap sepasang mata yang berkabut dalam tatapan mesra, dan seorang wanita yang berkilauan membuka dirinya pada seorang lelaki yang berkilauan. Wanita itu selebar dan sedalam sungai di saat banjir. Lelaki itu menyelam ke dalam airnya. Wanita itu dapat merasakan lelaki itu bergerak semakin dalam dan semakin dalam di dalam dirinya. Sibuk sekali. Hingar bingar..."
Fiksi yang menguraikan perilaku erotis dengan bahasa yang denotatif, menurut kritikus Milan Kundera, tidak akan sedahsyat yang menggunakan kiasan atau metafora. Terkait dengan metafora, pengarang Putu Wijaya mengamini Kundera. Putu selalu menghadirkan tamsil, ibarat, kiasan dan metafora dalam fiksi-fiksi gubahannya. Semua medium ekspresi itu diramu dan disampaikan untuk menghadirkan pekabaran yang memukau.
Para pengarang tak henti-hentinya mengeksplorasi dan mencita bahasa metaforik, termasuk ketika mereka mendeskripsikan perilaku erotis dalam karya-karya fiksi mereka.
Cheers, frizzy2008.
"Saya baca terutama di bagian-bagian yang memuat deskripsi erotik," katanya. Pengalaman Goenawan tentu tidaklah istimewa. Karena pembaca pada umumnya secara naluriah tak akan melewatkan bagian penggambaran perilaku erotik ketika menikmati karya fiksi.
Itu sebabnya para novelis menjadikan deskripsi perilaku erotik sebagai bagian tak terpisahkan dari totalitas cerita. Ada pengarang yang menjaga agar deskripsi mengenai perilaku erotik itu jangan sampai terjerumus ke dalam klasifikasi pornografis. Ada pengarang yang tak mempedulikan batas-batas klasifikasi itu.
Jika tujuan penggambaran atau deskripsi mengenai perilaku erotis itu adalah untuk merangsang naluri seksual pembaca, seperti dijelaskan Webster`s New Explorer Dictionary, penggambaran itu bisa dikategorikan sebagai pornografi.
Dalam novel terbaru Ayu Utami "Bilangan Fu", misalnya, deskripsi perilaku erotik jelas tidak dimaksudkan untuk merangsang seksual pembaca karena sang pengarang tak membuat deskripsi jasmaniah-harfiah. Sebaliknya, Ayu sengaja mengaburkan adegan erotik lewat bahasa metaforik, yang sebetulnya bisa saja dianggap lebih merangsang fantasi seksual pembaca.
Di halaman 38 novel setebal 531 pagina itu, Ayu membahasakan adegan seks dengan pilihan kata berikut:
"Di dalam kamar kubiarkan Marja memicu kudanya untuk berlari lebih cepat lagi. Kubiarkan ia menaji si kuda dengan sanggurdinya yang tak berbelas kasih. Ia mengucapkan segala sumpah serapah yang terdengar oleh seluruh dunia dan kata-kata kotor pada kuda yang mulai kehilangan kontrol."
Diksi metaforik dalam pasase itu seperti "kuda", "menaji", "sanggurdi," digunakan pengarangnya untuk menghindari lukisan-lukisan verbal-vulgar yang biasa digunakan kalangan pengarang novel picisan.
Tak vulgar
Sementara itu dalam "God of Small Things", bahasa harfiah dipakai oleh Arundhaty Roy untuk melukisan percintaan erotik antara Ammukuty, seorang janda, dengan jejaka yang digandrunginya, Velutha. Meskipun bisa dicap pornografis, deskripsi tentang percintaan erotis yang digubah Arundhaty jauh dari kesan porno yang vulgar.
Kenapa? Sebab Arundhati meletakkan adegan erotik itu dalam bingkai situasi yang tegang. Sang lelaki dalam ancaman disiksa warga setempat karena nekat bercinta dengan wanita dari kasta tinggi sementara dia sendiri dari golongan sudra.
Bahasa harfiah yang melukisan tubuh manusia yang sedang bercinta antara lain diwujudkan dalam kalimat berikut: "Ammu menjulurkan lidahnya dan mengecapkannya di ceruk kerongkongan lelaki itu. Di cuping telinganya. Ia menarik kepala lelaki itu ke arahnya, dan mencium mulutnya. Ciuman berkabut...."
Namun, untuk adegan hubungan intim, Arundhati tidak seharfiah saat ia melukiskan adegan ciuman, yang menurut banyak kalangan belum "porno banget", meskipun Lembaga Sensor Film (LSF) suka menggunting pita seluloid yang berisi adegan ciuman.
Inilah deskripsi Arundhaty untuk adegan "porno" yang disampaikan dalam diksi dan frasa metaforik:
"Sepasang mata yang berkabut menatap sepasang mata yang berkabut dalam tatapan mesra, dan seorang wanita yang berkilauan membuka dirinya pada seorang lelaki yang berkilauan. Wanita itu selebar dan sedalam sungai di saat banjir. Lelaki itu menyelam ke dalam airnya. Wanita itu dapat merasakan lelaki itu bergerak semakin dalam dan semakin dalam di dalam dirinya. Sibuk sekali. Hingar bingar..."
Fiksi yang menguraikan perilaku erotis dengan bahasa yang denotatif, menurut kritikus Milan Kundera, tidak akan sedahsyat yang menggunakan kiasan atau metafora. Terkait dengan metafora, pengarang Putu Wijaya mengamini Kundera. Putu selalu menghadirkan tamsil, ibarat, kiasan dan metafora dalam fiksi-fiksi gubahannya. Semua medium ekspresi itu diramu dan disampaikan untuk menghadirkan pekabaran yang memukau.
Para pengarang tak henti-hentinya mengeksplorasi dan mencita bahasa metaforik, termasuk ketika mereka mendeskripsikan perilaku erotis dalam karya-karya fiksi mereka.
Cheers, frizzy2008.