Fahmi Rizwansyah says
Bertahun-tahun lamanya, Bernard Madoff yang dikenal berprilaku manis dan tampak bisa dipercaya, menarik miliaran dolar AS baik dari dalam negeri AS maupun luar negeri untuk dikelolanya dalam lembaga investasi Bernard L. Madoff Investments Securities LLC.
Seperti sejumlah spekulan yang percaya naluri adalah segalanya dan kemudian berubah menjadi penipu seperti pelaku arisan berantai di Indonesia, Madoff menjanjikan banyak orang akan satu rumus kuno investasi; untung besar, risiko rendah.
Banyak investor yang kepincut dan 50 miliar dolar AS (Rp550 triliun) berhasil diraupnya lalu kemudian tiba-tiba raib tidak dapat ditarik ribuan investor yang diantaranya nama-nama beken seperti
BNP Paribas, Kingate Global Fund, sutradara Steven Spielberg dan raja real estat Mort Zuckerman.
Para investor tertipu mentah-mentah, namun yang paling menyakitkan dari praktik curang Madoff ini, mengutip Der Spiegel (15/12), adalah tereksposnya kekeliruan fundamental dalam perekonomian global.
Seperti halnya para investor Madoff, dunia menyebut risiko dalam perekonomian AS rendah sehingga menjadi situs investasi menguntungkan, bahkan asumsi ini ada dalam benak pemimpin China komunis.
Keyakinan ini lalu menyelubungi keseluruhan struktur perdagangan dan keuangan global dalam sepuluh tahun terakhir, sampai kemudian krisis kredit perumahan yang menciptakan krisis keuangan global itu menunjukkan asumsi tersebut salah.
Sejak krisis ekonomi Asia 1997-1998, dunia beramai-ramai memompakan uang untuk membiayai defisit perdagangan AS yang terus membumbung dari tahun ke tahun
Investasi asing yang diserap AS dari seluruh dunia mencapai lima triliun dolar AS (Rp55 ribu triliun), namun ironisnya kebanyakan berinsentif lebih rendah dibanding misalnya suku bunga di negara asal penanam modal.
Bermurah hati
Tanpa aliran uang panas dari luar negeri ke dalam perekonomian AS, maka globalisasi pada tingkatnya sekarang mungkin tak akan pernah terjadi, sebut Mingguan Jerman, Der Spiegel (15/12).
AS adalah konsumen andalan semua jenis komoditas dunia, menyerap produk otomotif buatan Jerman dan Jepang, barang elektronik dari Taiwan dan Korea, sandang dan furnitur China.
Michael Mandel dari Der Spiegel beranalogi, warga AS menggamit laptop buatan Taiwan setelah menyicilnya dengan jaminan rumah yang sudah diagunkan ke bank.
Jika semua itu ditelusuri jejaknya, kata Mandel, maka akan diketahui bahwa uang asinglah yang telah menghidupi orang Amerika.
Tapi ada misteri mengapa uang asing demikian mudah mengaliri kantong ekonomi AS. Apa yang membuat investor asing rela meminjami Amerika dengan modal demikian banyak hanya karena janji untung para pengelola dana yang terbukti banyak membual itu?
Para ekonom dan wartawan ramai mengajukan satu hipotesis ke hipotesis lain tanpa pernah bersepakat mengenai apa yang sebenarnya menyebabkan semua itu terjadi.
Namun, sekarang agaknya waktu tepat untuk menjelaskan mengapa orang-orang seperti Bernard Madoff begitu mudah menipu. Mari lihat apa yang terjadi di Amerika sana.
Para penghuni Wall Street --dari pemodal kakap seperti Lehman Brothers sampai pialang kelas teri seperti Bernard Madoff-- membujuk pemodal asing menanamkan modal di AS dengan alasan perekonomian negeri ini paling aman di dunia sehingga investasi apapun bakal menguntungkan.
Ternyata, demikian Mandel lagi, semua itu bohong belaka. Madoff benar-benar sudah menjadi penipu layaknya pelaku arisan berantai di Indonesia yang membuat ribuan ibu-ibu lemas tanpa daya tertipu keuntungan kilat tanpa menilik risikonya.
Madoff dituduh mengoperasikan satu skema investasi abal-abal yang mengakibatkan rugi miliaran dolar AS di seluruh dunia, termasuk empat miliar dolar AS di Swiss dan tiga miliar dolar AS di Spanyol.
Derivatif
Tentu, pelakunya bukan hanya Madoff. Masa keemasan Wall Street sebelum ini dibangun di atas skema menjual cerita "risiko rendah, untung banyak" pada pemodal asing, termasuk mungkin investor Indonesia.
Fakta yang terjadi kini di AS adalah kebanyakan inovasi keuangan yang dibuat belakangan ini adalah justru mencari investasi aman untuk pemodal asing. Jadi, para pemilik modal seluruh dunia kecele.
Alih-alih mencari aman, yang diperoleh investor malah satu tempat yang sedang mencari cara aman berinvestasi.
Tapi fakta seperti ini dikaburkan oleh gambaran tumbuh besarnya volume transaksi berjangka (derivatif) valuta sehingga pemilik modal seluruh dunia merasa investasinya terlindung dari risiko fluktuasi mata uang karena modalnya memang didenominasikan dalam dolar AS.
Masalahnya, risiko investasi kian terkuak, namun sebelum investor asing menyadarinya, maka AS berinovasi memperbesar eksposur transaksi derivatif untuk konversi kredit gagal bayar (CDS, credit default swap).
Langkah itu ditempuh untuk melindungi investor asing agar tidak bermasalah dengan negara asal investor, terutama China, Jepang, Uni Eropa, Arab dan Asia belahan timur.
Surat utang-surat utang kolateral itu lalu dibagi AS dalam dua model; obligasi risiko tinggi dan obligasi risiko rendah. Model obligasi terakhir kemudian dilego di luar negeri.
Tatkala obligasi risiko rendah yang digantungi iming-iming untung tinggi ini ditawarkan ke pasar-pasar atraktif seluruh dunia, diantaranya Hongkong, Dubai, Shanghai atau Singapura, para investor langsung kepincut.
Dalam bayangan mereka, kapan lagi menambatkan investasinya secara aman sekaligus menguntungkan.
Tak heran jika Lehman Brothers yang menawari obligasi risiko rendah yang dinamai "mini bonds" senilai dua miliar dolar AS (Rp22 triliun) ke para investor Hongkong yang diantaranya para pensiunan, serta merta obligasi itu dilahap dengan ganas bagai piranha menggasak mangsanya.
Namun ketika Lehman jatuh bangkrut, para investor Hongkong ikut bangkrut, lebih sengsara dibanding PHK pegawai Lehman. Sebagian diantaranya mendadak linglung, depresi, bahkan gila.
Ternyata, demikian Mandel, iming-iming risiko rendah dan untung besar itu isapan jempol semata, setidaknya jika melihat dua alasan berikut.
Alasan pertama adalah asumsi bahwa perekonomian AS dikenal unggul dalam inovasi. Masalahnya, inovasi perekonomian AS tergantung pada pengembangan teknologi yang umumnya kegiatan-kegiatan bisnis berisiko tinggi.
Jenis inovasi seperti ini memang menguntungkan, tetapi juga sering merugikan. Jika menguntungkan, tentu mendorong perekonomian seperti terjadi selama paruh kedua dekade 1990an.
Tapi inovasi dalam beberapa tahun belakangan banyak yang jalan di tempat. Bioteknologi dan nanoteknologi misalnya, buahnya belum memuaskan. Begitu pula energi alternatif yang tersendat dan setengah hati didalami otoritas AS.
Akibatnya, perekonomian AS ambruk lebih cepat dari perkiraan, tak lagi menggendong untung di punggung, tapi malah semakin dibebani tumpukan utang.
Alasan kedua bahwa iming-iming risiko rendah insentif tinggi itu tidak lebih dari karangan, adalah miskinnya pengaturan transaksi modal.
Nah, soal terakhir ini yang menjadi penyebab utama Madoff berlaku curang yang kini menyayat kredibilitas regulator seperti Securities and Exchange Commission atau SEC (Bapepam-nya Amerika).
"Jika lembaga-lembaga pengelola dana, institusi-institusi keuangan dan orang-orang super kaya begitu mudah diperdaya, maka Madoff sangat mungkin bisa mengakali SEC," kata Carl Loewenson, pengacara pada Firma Hukum Morrison & Foerster, New York seperti dikutip Reuters (16/12).
Tidak rumit
Carl mungkin ada benarnya mengingat skema investasi Madoff bukan model sekuritisasi yang rumit, jika orang mau mereferensi model-model mutakhir transaksi derivatif.
Model investasi Madoff sebenarnya sama dengan Skema Ponzi yang kuno itu sehingga seharusnya mudah dideteksi dan diawasi lembaga pengawas pasar modal.
Skema Ponzi dikembangkan Charles Ponzi pada pertengahan abad lalu dengan menarik dana dari sebanyak mungkin nasabah dengan janji keuntungan berlipat dalam waktu singkat.
Skema ini dianggap penipuan sehingga terlarang di AS. Anehnya, Madoff memakai skema itu di masa kini yang pola sekuritisasi assetnya berkembang demikian canggih.
Madoff bahkan mempraktikannya di depan batang hidung SEC yang dikenal sebagai salah satu lembaga supervisi keuangan sangat kredibel di AS.
Keadaan semakin aneh manakala, Harry Markopolos yang menjadi rival bisnis Madoff, telah meneliti strategi opsi saham yang diadopsi Madoff dan terang-terangan menyimpulkan strategi itu akal-akalan saja.
Dalam sembilan tahun terakhir, Markopolos rutin mengirimkan laporan kecurangan Madoff ke kantor SEC di New York dan Boston, namun sampai kedok Madoff terbuka pun, SEC enggan berkalimat kendati itu dinanti masyarakat banyak.
Kritik pun muncul, bahkan September lalu, Inspektur Jendral SEC menyebut SEC gagal meraba praktik bisnis tidak jujur dari bank pengelola kredit KPR, Bear Stearns, yang menyalahi batas ketentuan risiko kredit (semacam batas penyaluran kredit atau jumlah kredit bermasalah atau NPL di Indonesia).
Bahkan saat tanda-tanda ketidakberesan Bear Stearns semakin jelas saat JP Morgan Chase & Co mengakuisisinya Maret lalu pun, SEC gagal mengingatkan bank itu untuk patuh pada batas risiko kreditnya.
Sebenarnya, Departemen Keuangan AS telah menerbitkan rangkaian rekomendasi untuk mengefektifkan sistem regulasi industri dan sektor jasa keuangan yang membuat otoritas keuangan AS berhak mengawasi para pialang dan penyalur kredit KPR, juga transkasi CDS.
Depkeu juga merekomendasikan langkah bersama SEC dan Komisi Perdagangan Komoditas Berjangka, serta menggabungkan dua lembaga pengawas perbankan dalam rangka mendisiplinkan sistem perbankan.
Semua itu ditempuh agar praktik bisnis liar dan mengabaikan keselamatan sistem keuangan ditekan serendah-rendahnya sehingga orang-orang seperti Bernie Mandoff tidak bisa seenaknya menipu investor.
Akhirnya, mengutip Der Speigel, globalisasi tidak boleh lagi terjadi seperti sekarang di mana risiko-risiko bisnis diabaikan. Kemakmuran ekonomi tergantung pada berhasil tidaknya sistem perekonomian berinovasi, bukan pada bagaimana investor seluruh dunia diiming-imingi realitas palsu. (*)
by A. Jafar M. Sidik (Antara News)
Sumber: Der Spiegel (15/12) dan Reuters (16/12)
Cheers, frizzy2008.